Rabu, 29 Juni 2016

Kisah Latar




Suatu kali di Kosala, terlahirlah seorang putra brahmana juru doa istana. Anak ini diberikan nama Ahimsaka, yang berarti "lembut", dengan harapan sang anak tidak akan melakukan kejahatan di masa mendatang, serta akan menjadi seorang yang penuh kewelasan.
Ahimsaka tumbuh sebagai anak yang baik, cerdas dan kuat. Ketika sudah tiba waktu baginya untuk menempuh pendidikan lanjut, ayahnya mengutus dirinya ke Takkasila, tempat ia belajar dibawah bimbingan seorang guru yang sangat terkenal dan terpelajar.

Ahimsaka adalah murid yang tekun dan pandai. Berkat ketekunannya dalam belajar, ia melampaui rekan-rekannya dalam semua mata pelajaranserta memperoleh banyak kehormatan. Ia juga melayani gurunya dengan penuh bakti dan rendah hati, sehingga dengan keluarga gurunya. Hubungan mereka yang akrab membuat rekan-rekannya iri hati. Mereka mencoba mempermalukannya. Setelah berulang kali gagal menfitnah Ahimsaka, mereka berpencar kedalam tiga kelompok. Lalu masing-masing kelompok ini secara terpisah menuduhnya telah berbuat zinah dengan istri gurunya.
Lama- kelamaan fitnah yang berulangkali berhasil meracuni pikiran sang guru. Rasa curiganya berkembang menjadi rasa yakin. Lalu sang guru bersumpah untuk membunuh Ahimsaka dengan cara yang tidak akan mencemarkan nama baiknya. Tatkala Ahimsaka menyelesaikan pendidikannya, sang guru mendapatkan saat yang tepat untuk membalas dendam. Sang guru memanggil Ahimsaka dan memintanya mempersembahkan hadiah berupa seribu jari tangan manusia, yaitu satu jari dari tangan kanan setiap orang.

Ahimsaka sebenarnya sangat keberatan. Namun karena tiada pilihan lagi, dan juga karena tidak ingin mengecewakan sang guru, akhirnya Ahimsaka menyetujuinya. Setelah memberi hormat kepada sang guru, ia membawa seperangkat senjata dan menuju ke Hutan Jalini dekat negeri Kosala. Disana, ia tinggal di tebing yang tinggi. Dari atas, ia bisa lebih leluasa untuk mengamati jalanan dibawahnya, bila mana tampak olehnya para musafir yang melewati jalan itu, ia akan lari turun dari tempat persembunyiannya, lalu membunuh mereka, lalu memotong jari tangan dari setiap korbannya. Pada awalnya ia menggantungkan jari-jari tangan korbannya diatas pohon. Namun burung-burung memakan daging jari-jari tersebut dan menjatuhkan tulang berulangnya. Diperhatikannya bahwa banyak jari yang telah dikumpulkannya terjatuh dan membusuk diatas tanah. Ia terpaksa mengumpulkan jari lebih banyak lagi. Akhirnya, ia membuat untaian tulang jari dan menggantungkannya di lehernya. Sejak saat itu, ia dikenal sebagai Angulimana atau " Kalung Jari ".
Lambat laun , tak seorangpun berani melewati jalan jalan itu sendirian. Mereka akhirnya berjalan dalam kelompok sepuluh, dua puluh, tiga puluh dan sampai empat puluhan orang. Akan tetapi, mereka jarang bisa lolos dari kekejian Angulimala. Tak seorang pun berani pergi kesana, dan jalan itu akhirnya menjadi sepi. Angulimala sekarang terpaksa mendekati pinggiran desa dan menyerang orang-orang yang belalu lalang. Ia malahan bertindak jauh dengan memasuki rumah-rumah pada malam hari, ia membunuh penghuninya lalu memotong jari-jari korbannya dan menggantungkannya dikalungnya. Akhirnya, orang-orang meninggalkan rumah mereka; desa-desa itu menjadi sepi. Rasa ngeri yang teramat sangat menyelimuti seluruh wilayah itu.

Lalu, penduduk desa yang tuna wisma tersebut pergi ke Savatthi dan berkumpul di istana sambil menangis dan meratap. Mereka menceritakan penderitaan mereka kepada raja. Raja Pasenadi segera memerintahkan satu regu prajurit untuk menangkap Angulimala. Mendengar titah raja, ibunda Angulimala meminta suaminya untuk mencari Ahimsaka dan membujuknya pulang. Akan tetapi sang brahmana tidak bersedia.
Mendengar jawaban suaminya, dan didorong rasa kasih terhadap putranya, ia pergi sendirian ke hutan tempat angulimala dilaporkan bersembunyi selama ini. Ia ingin memperingatkan putranya, menyelamatkannya, dan memohon untuk meninggalkan jalan hidupnya yang jahat, serta kembali tinggal bersama keluarganya.
Saat itu, Angulimala menyadari bahwa ia telah mengumpulkan sembilan ratus sembilan puluh sembilan jari. Tinggal satu jari lagi untuk mencapai seribu jari. Demikianlah, ia bertekad membunuh orang yang pertama yang dijumpainya untuk memenuhi target yang dipinta oleh gurunya yang jahat itu.
Dari persembunyiannya Angulimala melihat ibunya tengah berjalan sendirian menyusuri jalan sepi itu. Ia lalu bergegas turun. Pada awalnya ia bimbang. Namun karena terdesak oleh jumlah yang hampir terpenuhi, ia memutuskan untuk membunuh ibundanya.

Tiba-tiba tampak oelh Angulimala seorang bhikkhu yang tak lain adalah Buddha sendiri, yang tengah berjalan dengan tenang, diantara dirinya dan ibundanya. Angulimala berubah pikiran, lalu mengejar Buddha. Saat itu pula Buddha mengerahkan kesaktiannya sedemikian rupa, sehingga walau Angulimala berlari secepat apa pun, ia tidak bisa mengejar Buddha, yang tampaknya berjalan dengan tenang saja.
Walaupun Angulimala mengerahkan seluruh kekuatannya terus mengejar sejauh tiga yojana, namun ia gagal menyusul Buddha. Akhirnya ia kelelahan sendiri, ia berhenti dan berseru, "Haiiii berhenti bhikkhu ! Berhenti!"
Buddha menjawab: "Aku telah berhenti, Angulimala. Kamu yang berhenti." Angulimala merasa heran dan aneh dengan perkataan Buddha. Ia pun bertanya apa maksud perkataan-Nya itu.
Buddha menjawab bahwa Ia telah berhenti selamanya, dan bahwa Ia menjauhkan diri dari berbuat kejahatan terhadap mahluk hidup. Selanjutnya, Buddha berkata bahwa Angulimala sendirilah yang tidak punya kendali terhadap mahluk hidup yang bernapas.
Mendengar kata-kata bijak ini, Angulimala merenungi artinya dan memahami bahwa dengan berbuat buruk seperi ini , ia tidak dapat berhenti berkelana di alam samsara. Angulimala pun akhirnya menyadari bahwa bhikkhu yang berdiri di hadapannya itu bukan bhikkhu biasa, melainkan seorang Buddha sendiri. Ia juga mengetahui secara intuitif bahwa sesungguhnya Sang Guru Agung telah tiba di hutan itu khusus untuk membuat dirinya melihat Cahaya Kebenaran.

Demikanlah, ia lalu mencampakkan senjatanya kedalam jurang. Ia bersujud dan memohon untuk ditahbiskan sebagai bhikkhu. Buddha lalu menahbiskan Angulimala sambil berkata-kata, "Mari, bhikkhu." Setelah kejadian ini, Buddha menuju ke Savatthi, diiringi Bhikkhu Ahimsaka. Mendengar bahwa Angulimala telah berhenti melakukan kejahatan dan menjadi pengikut Buddha dan menjadi bhikkhu, raja Pasenadi memutuskan untuk tidak menghukumnya.
Suatu hari, tatkala Bhikkhu Ahimsaka tiba di Savatthi untuk menerima derma makanan, tampak olehnya seorang wanita yang tengah manghadapi kesulitan besar saat melahirkan. Rasa belas kasihan muncul dalam dirinya. Setelah itu ia melaporkan hal ini kepada Buddha, yang menasehatinya: "Ahimsaka, pergilah pada wanita itu, dan katakanlah padanya: "Saudari, sejak aku lahir dalam kelahiran suci, tak teringat oleh ku pernah secara sengaja membunuh mahluk apa pun. Dengan ucapan kebenaran ini, semoga engkau dan anak dalam kandungan mu sejahtera!" Segera ia pergi ke Savatthi.Setibanya di rumah wanita itu, ia mengucapkan kebenaran itu sebagaimana yang dinasehatkan Buddha . Segera sesudahnya, wanita itu melahirkan seorang bayi dan keduanya selamat.
Bhikkhu Ahimsaka bermeditasi dengan tekun dan tak lama kemudian dia mencapai kesucian Arahatta.

Namun perbuatan buruk masa lalunya masih mengejar dirinya. Suatu pagi, ketika Bhikkhu Ahimsaka tengah berjalan menyambut derma makan di Savatthi, ia diserang oleh beberapa orang yang masih tidak bisa melupakan bahwa Angulimala yang keji itu bertanggung jawab atas kematian orang-orang yang mereka kasihi. Mereka melemparkan gumpalan tanah, batu, dan pecahan tembikar kearah Bhikkhu Ahimsaka. Mereka juga memukulinya dengan tongkat. Serangan mereka yang penuh dendam itu pastinya sangat brutal. Setelah serangan itu Bhikkhu Ahimsaka kembali menghadap Buddha dalam keadaan luka yang parah, dengan darah yang mengalir dari kepalanya, mangkuknya pecah berantakan, dan jubah luarnya robek-robek semuanya. Segera setelah itu, Bhikkhu Ahimsaka wafat dengan tenteram.

Para bhikkhu bertanya mengenai kelahiran mendatang Bhikkhu Ahimsaka. Ketika Buddha menyatakan bahwa Bhikkhu Ahimsaka telah menjadi Araha, sebagian bhikkhu merasa sangat terkejut. Bagaimana mungkin seseorang yang dulu tangannya penuh darah, seorang matan pembunuh yang maha keji bisa tercerahkan sebegitu cepatnya. Buddha menjawab dengan ayat ini.

Dhamma untuk kehidupan
Unknown Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar