Minggu, 31 Juli 2016

KISAH 100 BUDDHA & BODHISATTVA (PANCA DHYANI BUDDHA / LIMA BUDDHA KEBIJAKSANAAN / THE FIVE WISDOM BUDDHAS / WU ZHI RU LAI / 五智如来) - AMOGHASIDDHI BUDDHA / CHENG JIU RU LAI / 成就如來 / དོན་ཡོད་གྲུབ་པ / (BUDDHA KE-5)




Buddha Amoghasiddhi adalah Buddha ke-5 dari Panca Dhyani Buddha. Makna dari nama Amoghasiddhi adalah "Ia Yang Pencapaiannya Tidak Sia-Sia".

Buddha Amoghasiddhi jarang dikenal oleh umat Buddha Mahayana sekte esoterik. Buddha Amoghasiddhi sangat jarang dipuja atau diletakkan pada altar sembayang. Di antara ke-5 Buddha yang berada di lima titik penjuru mata angin, sebagai Panca Dhyani Buddha, Buddha Amogasiddhi berada di alam semesta bagian Utara, dan menjadi penjaga alam semesta wilayah Utara.


Menurut aliran Buddha Mahayana sekte esoterik, Buddha Amoghasiddhi mempunyai watak tidak mengenal takut, mempunyai pribadi yang berkemauan teguh dalam melaksanakan Sumpah Maha Suci-Nya untuk menolong semua mahluk. Adapun sikap dari rupang Buddha Amoghasiddhi, adalah tangan kiri Beliau memegang dua sudut dari jubahNya, sedangkan tangan kanan Beliau, kelima jari-Nya dibentangkan dan telapak tangan menghadap ke luar. Janji batin dari Buddha Amogasiddhi melambangkan beliau menarik semua makhluk agar terlepas dan tidak terkena penderitaan

Buddha Amoghasiddhi berkedudukan di Utara. Dengan sikap Abhya-Mudra, yaitu telapak tangan kiri terbuka di atas pangkuan telapak tangan kanan di atas lutut kanan dengan jari-jari terbuka ke atas, ibu jari ke dalam, artinya "Tanpa Rasa Takut". Amoghasidhi berarti Mahajadi yang tiada mengenal kegelapan. Memiliki warna hijau, dengan unsur Panca Bhuttha angin, unsur Panca Skandha Sankhara, dan unsur Panca Indera peraba.

Foto Cetya Tathagata Jakarta.
Unknown Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

KISAH 100 BUDDHA & BODHISATTVA (PANCA DHYANI BUDDHA / LIMA BUDDHA KEBIJAKSANAAN / THE FIVE WISDOM BUDDHAS / WU ZHI RU LAI / 五智如来) - RATNASAMBHAVA BUDDHA / 南方宝生部主宝生佛 / རིན་ཆེན་འབྱུང་གནས / (BUDDHA KE-4)




Ratnasambhava Buddha adalah yang keempat dari Lima Dhyani Buddha yang telah disembah sejak 500 SM sampai hari ini. Ratnasambhava secara harafiah mempunyai makna "Permata Yang Memenuhi Keinginan" / "Berasal Dari Permata" / "Permata Alam Semesta". Tiga Permata adalah Buddha (guru), Dharma (ajaran), dan Sangha (komunitas). Ratnasambhava selalu menghadap selatan, dan warna tubuhnya berwarna kuning yang mewakili warna matahari.


Ratnasambhava selalu mengajarkan mengenai "Kebijaksanaan Kesetaraan" atau "Kesamaan / Samatajnana". Ratnasambhava juga menekankan bahwa setiap makhluk adalah sama dan apa yang disebut dengan perbedaan gender dan status sosial tidaklah penting. Ratnasambhava juga mengajarkan bahwa dunia adalah murah hati dan begitu juga manusia, karena itu, ia menekankan pada "Keselarasan" dan "Berbagi". Alasan mengapa Ratnasambhava mengajarkan "Berbagi" daripada "Memberi" adalah karena jika ada "Memberi", ada "Diri" dan "Orang Lain" baik secara individu yang ada, namun jika ada berbagi, ada "KITA" berarti bahwa kita berbagi hal-hal bersama dan hidup bersama dalam satu harmoni.

Ratnasambhava adalah Buddha kebaikan dan keindahan yang merupakan tokoh sentral dari keluarga Ratna, yang mewakili kekayaan dan martabat dan unsur kosmik dari sensasi. Namun, di Nepal, telah dikatakan bahwa aspek negatifnya adalah eksploitasi kekayaan dan perwujudan dari fitnah.

Ratnasambhava juga diwakili merangkul Mamaki. Dia melambangkan air yang diperlukan sebagai pupuk oleh bumi. Dalam mitologi Hindu, Ratnasambhava diyakini sebagai tokoh yang mengubah racun kebanggaan (kesombongan rohani, intelektual dan manusia) ke dalam "Kebijaksanaan Kesetaraan".

Buddha Tibet mengajarkan bahwa dengan "Kebijaksanaan Kesetaraan" seseorang melihat segala sesuatu dengan netralitas ilahi dan mengakui kesetaraan semua makhluk ilahi. Satu melihat semua makhluk dan Sang Buddha memiliki sifat yang sama, sebuah kondisi untuk memacu kenaikan spiritual kita dan untuk memperoleh kepercayaan untuk mewujudkan dalam diri kita status seorang Buddha.

Ratnasambhava Buddha berkedudukan di selatan. Dengan sikap Wara-Mudra, yaitu telapak tangan kiri terbuka ke atas pangkuan, telapak tangan kanan terbuka di atas lutut kanan, memberikan anugerah dan berkah. Ratnasambhava berarti "Permata Alam Semesta". Memiliki warna kuning emas, dengan unsur Panca Bhuttha air, unsur Panca Skandha Vedana atau perasaan, dan Unsur Panca indera pengecapan.
Unknown Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

KISAH 100 BUDDHA & BODHISATTVA (PANCA DHYANI BUDDHA / LIMA BUDDHA KEBIJAKSANAAN / THE FIVE WISDOM BUDDHAS / WU ZHI RU LAI / 五智如来) - AMITABHA BUDDHA / A MI TUO FO / 阿彌陀佛 / अमिताभ (BUDDHA KE-3)




Untuk pembahasan mengenai Buddha Amitabha, sudah dituliskan sebelumnya di dalam artikel pembahasan 100 Buddha & Bodhisattva oleh Cetya Tathagata. Silahkan pembaca untuk langsung ke link sebagai berikut untuk mengetahui riwayat dari Buddha ke 3 dalam Panca Dhyani Buddha:




Buddha Amitabha berkedudukan di Barat. Dengan Dhyana-Mudra, yaitu telapak tangan kanan di atas telapak tangan kiri di pangkuan, sedang bermeditasi. Amitabha berarti cahaya tanpa batas. Memiliki warna merah, dengan unsur Panca Bhuttha api, unsur Panca Skandha Sanna atau pencerapan, dan unsur Panca Indera bentuk.
Unknown Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

KISAH 100 BUDDHA & BODHISATTVA (PANCA DHYANI BUDDHA / LIMA BUDDHA KEBIJAKSANAAN / THE FIVE WISDOM BUDDHAS / WU ZHI RU LAI / 五智如来) - AKSOBHYA BUDDHA / A CHU FO GUO JING / 阿閦佛國經 / अक्षोभ्य (BUDDHA KE-2)




Buddha Aksobhya adalah satu dari Panca Dhyani Buddha, bagian dari Adibuddha, yang mewakili kesadaran sebagai sebuah aspek akan kenyataan. Ia berada di bagian timur dari Dunia Intan dan merupakan tuan dari Surga bagian Timur Abhirati ('Kesuka-citaan') walaupun surga bagian barat Amitabha yang berseberangan dengan Akshobhya jauh lebih dikenal. Pendampingnya adalah Mamaki dan ia biasanya didampingi oleh dua ekor gajah.


Dalam bahasa Sansekerta, makna dari Aksobhya adalah "Tak Tergoyahkan" / "Tanpa Kegelisahan". Dahulu ketika Akhsobya masih menjadi seorang biarawan, dikatakan bahwa Beliau pernah berikhtiar di hadapan Sang Buddha untuk tidak akan menunjukkan perasaan jijik atau kemarahan pada semua makhluk. Dalam melaksanakan sumpah-Nya, dia memperlihatkan tekad "Tak Tergoyahkan" dan seiring berlalunya waktu, Ia dikenal sebagai Buddha Aksobhya yang kemudian menguasai Surga Timur / Surga Abhirati. Siapapun yang terlahir kembali di Surga Abhirati, tidak akan terlahir kembali ke tingkat kesadaran yang lebih rendah. Maka dengan demikian untuk semua insan yang percaya, seharusnya lah berusaha memenuhi janji yang sudah dicetuskan oleh Buddha Aksobhya.

Menurut Sutra Aksobhya, Beliau menguasai Surga bagian Timur Abhirati. Hal ini dipercaya sebagai siapapun yang dengan tekun melaksanakan ajaran Enam Paramita / Enam Sifat Luhur / Kesempurnaan akan terlahir kembali dari kehidupan saat ini kemudian ke kehidupan di Surga Abhirati. Keenam Sifat Luhur / Enam Paramita ini antara lain adalah:

1. Dana Paramita, yaitu melatih kemurahan hati
2. Sila Paramita, yaitu melatih tidak mengutamakan diri sendiri
3. Kshanti Paramita, yaitu melatih kesabaran dan rendah hati
4. Viriya Paramita, yaitu melatih keuletan dan pengabdian
5. Dhyana Paramita, yaitu melatih ketenangan pikiran
6. Prajna Paramita, yaitu melatih kebijaksanaan

Dalam Sutra Aksobhya juga menggambarkan keajaiban dan kebahagiaan yang ada di Surga Abhirati. Dijelaskan pula di dalam Sutra yang menggambarkan kecenderungan penghuni surga untuk selalu menghadap ke arah Timur dimana matahari selalu terbit dengan indahnya. Dimana kemuliaan dari cahaya sang mentari yang memberikan simbol dimana semua makhluk berkembang, arah Timur selalu dianggap sebagai sebuah tempat untuk surga. Dalam ajaran Buddha, surga tidak dimaksudkan sebagai sebuah "lokasi" / "tempat", namun lebih kepada sebagai sebuah "Tingkat Kesadaran".

Aksobhya Dhyani Buddha berkedudukan di sebelah Timur. Dengan sikap Bhumisparsa-Mudra, yaitu telapak tangan kiri ke atas dan di atas pangkuan, telapak tangan kanan menelungkup di atas lutut kanan, menunjukkan bumi sebagai saksi. Aksobhya berarti sumber ketenangan. Memiliki warna biru, dengan unsur Panca Bhuttha hawa atau udara, unsur Panca Skandha vinnana atau kesadaran dan unsur Panca Indera suara.
Unknown Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Melatih Diri untuk "DIAM"




Sebelum Ajaran Zen masuk ke Jepang, pengikut ajaran Tendai-lah yang banyak mempelajari meditasi. Di antara para siswa Tendai, ada 4 serangkai yang sepakat untuk menjalankan "7 hari diam (seven days of silence)"

Pada hari pertama, tidak ada seorangpun dari 4 serangkai ini yang berbicara. Pelatihan Meditasi mereka pada awalnya berjalan baik... Ketika malam tiba dan lampu ruangan meredup, salah seorang Murid tidak dapat menahan dirinya dan berseru kepada pelayan di sana, "Perbaiki Lampunya!"


Murid Kedua terkejut mendengar salah satu dari mereka berbicara, sehingga ia berkata, "Kita seharusnya tidak bicara sepatah kata pun!"

"Alangkah bodohnya kalian! Kenapa kalian bicara?" tanya Murid Ketiga

"Saya adalah satu-satunya yang belum bicara," kata si Murid Keempat.

Learning To Be Silent

The pupils of the Tendai school used to study meditation before Zen entered Japan. Four of them who were intimate friends promised one another to observe seven days of silence.

On the first day all were silent. Their meditation had begun auspiciously, but when night came and the oil lamps were growing dim one of the pupils could not help exclaiming to a servant: "Fix those lamps."

The second pupil was surprised to hear the first one talk. "We are not supposed to say a word," he remarked.

"You two are stupid. Why did you talk?" asked the third.

"I am the only one who has not talked," concluded the fourth pupil.




Unknown Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

KISAH 100 BUDDHA & BODHISATTVA (PANCA DHYANI BUDDHA / LIMA BUDDHA KEBIJAKSANAAN / THE FIVE WISDOM BUDDHAS / WU ZHI RU LAI / 五智如来) - VAIROCANA BUDDHA / PI LU ZHE NA FO / 毘盧遮那佛 / वैरोचन (BUDDHA KE-1)




Buddha Vairocana / Pi Lu Zhe Na Fo adalah Buddha yang sering ditafsirkan sebagai tubuh yang terberkati dari Buddha Gautama. Buddha Vairocana juga disebut sebagai Buddha Dharmakaya / Buddha Cahaya Matahari Yang Agung. Dalam Buddhisme China-Jepang, Buddha Vairocana juga dianggap sebagai penubuhan dari konsep sunyata atau ketiadaan. Dalam konsep Panca Dhyani Buddha mahzab Vajrayana, Buddha Vairocana terletak di tengah dan berwarna putih.

Buddha Vairocana pertama kali disebutkan dalam Brahma Jala Sutra:

"Kini, Aku, Buddha Vairocana duduk di atas lapik teratai; dari seribu bunga teratai yang mengelilingiku, terdapat seribu Buddha Sakyamuni. Tiap bunga mendukung ratusan juta dunia; di tiap dunia itu Buddha Sakyamuni muncul. Semuanya duduk bertapa dibawah pohon Boddhi, semuanya secara bersamaan mancapai tingkat kebuddhaan. Semua para buddha yang tak terhitung banyaknya ini memiliki Vairocana sebagai tubuh aslinya."

Dalam bahasa Sansekerta, makna / arti dari Vairocana adalah "Cemerlang" / "Termahsyur" / "Dia Yang Seperti Cahaya Matahari". Maka daripada itu, Buddha Vairocana juga sering disebut sebagai "Buddha Cahaya Matahari Yang Agung".

Diceritakan bahwa Buddha Vairocana dahulunya adalah seorang pengajar / mentor dari Bhumi-Dhara Bodhisattva. Pada saat Buddha Vairocana muncul ke dunia, seorang umat awam, setelah mendengarkan Dharma dari Beliau, kemudian bersumpah untuk membangun jembatan-jembatan dan memperbaiki jalan-jalan untuk kesejahteraan masyarakat. Sejak saat itu, umat tersebut secara konsisten melakukan perjalanan ke berbagai tempat, membangun sebuah jalan ketika tertutupi oleh bukit, membangun jembatan untuk menyeberangi sungai, dan memperbaiki apabila menemukan jalan-jalan yang rusak. Dimanapun ia melihat seorang yang sudah tua renta ataupun seorang anak kecil yang sedang membawa suatu beban yang berat, ia akan dengan segera menghampiri mereka dan membantu mereka membawa beban tersebut hingga ke tempat tujuan.

Pada satu kesempatan, ketika ia mendengar kabar bahwa Sang Raja telah mengundang Sang Buddha Vairocana untuk memberikan sedekah, ia dengan segera memperhalus permukaan jalan yang ia perkirakan akan dilawati oleh Buddha Vairocana. Dan ia dengan penuh hormat berdiri di sisi jalan menunggu kedatangan Beliau. Senang dengan permukaan jalan yang mulus, Buddha Vairocana mengangkat tangan-Nya dan diletakkan di kepala umat tersebut dan berkata:

"Anda telah bersumpah untuk memperbaiki jalanan yang rusak. Setelah melaksanakan semua hal tersebut, pikiran Anda pun menjadi tenang. Anda akan segera mencapai apa yang menjadi tujuan Anda."

Mendengar hal tersebut, sang umat dengan tiba-tiba menyadari untuk mendapati bahwa tubuhnya telah terpisah dari dunia ini. Dirinya menjadi murni tanpa ada sedikit pun kekotoran batin dan kemudian ia menjadi Arahat. Dalam kelahiran selanjutnya, sang umat ini dikenal dengan sebutan Bhumi-Dhara Bodhisattva.

Vairocana Dhyani Buddha kedudukannya berada di tengah atau di pusat. Dengan sikap Witarka-Mudra, yaitu telapak tangan kiri terbuka di atas pangkuan, telapak tangan kanan di atas lutut kanan, tiga jari: tengah, manis, dan kelingking ke atas, ibu jari dan telunjuk membentuk lingkaran, artinya telah menguasai Tiga Loka (Triloka).

Vairocana berarti Sumber Cahaya. Memiliki warna putih, dengan unsur Panca Bhuttha Tanah, unsur Panca Skandha Rupa, dan unsur Panca Indera Penciuman.

Foto Cetya Tathagata Jakarta.
Unknown Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

KISAH 100 BUDDHA & BODHISATTVA (PANCA DHYANI BUDDHA / LIMA BUDDHA KEBIJAKSANAAN / THE FIVE WISDOM BUDDHAS / WU ZHI RU LAI / 五智如来)




Dalam Buddhisme Vajrayana, Panca Dhyani Buddha / Lima Buddha Kebijaksanaan / 五智如来 / Wǔzhì Rúlái adalah Lima Buddha Agung dan Lima Jina yang berarti "Penakluk" atau "Kemenangan". Merupakan perumpamaan dari lima kualitas Buddha. Istilah Buddha-Kebijaksanaan (Dhyani Buddha) pertama kali di catat dalam Bahasa Inggris oleh seorang berkewarganegaraan Britania Raya yang menetap di Nepal yang bernama Brian Hodgson. Pada awal abad ke-19, dan tidak tertera dalam sumber-sumber utama tradisional lainnya. Kelima Buddha tersebut merupakan subyek yang seringkali ditemukan dalam beragam mandala dari Buddhisme Vajrayana. Kelima Buddha tersebut merupakan subyek utama dari penyembahan dan meditasi dalam Buddhisme Shingon, sebuah sekte Buddhisme Vajrayana yang didirikan di Jepang oleh Kukai.

Mengapa Panca Dhyani Buddha? Di dalam Mahayana selain terdapat penghormatan terhadap Sakyamuni Buddha, sebagai Manussi Buddha, juga dikenal dan terdapat penghormatan dan pemujaan terhadap Dhyani Buddha. Bahkan umat Buddha di Indonesia sejak dulu telah melakukan pemujaan terhadap Dhyani Buddha ini, sebagaimana tercermin dengan rupang-rupang yang terdapat di Candi Borobudur.

Umumnya pemujaan terhadap Manussi Buddha dan Dhyani Buddha ini menjadi lengkap ditambah dengan pemujaan terhadap Dhyani Bodhisattva, karena sesungguhnya di dalam Buddha Mahayana ketiganya merupakan suatu kesatuan Trikaya, seperti yang tercermin pada rupang yang terdapat di Candi Mendut, yaitu Amitabha Buddha (Dhyani Buddha), Sakyamuni (Manussi Buddha), dan Avalokitesvara (Dhyani Bodhisattva).

Pemujaan terhadap Dhyani Buddha, Manussi Buddha, dan Dhyani Bodhisattva, yang masing-masing berjumlah lima, merupakan realisasi dalam bentuk pemujaan dari konsep ajaran Mahayana tentang tiga aspek tubuh Buddha atau Trikaya, yang terdiri dari: Dharmakaya, Sambhogakaya, dan Nirmanakaya.

Dhyani Buddha merupakan perwujudan dari Dharmakaya
Manussi Buddha perwujudan dari Nirmanakaya
Dhyani Bodhisattva perwujudan Sambhogakaya.

Masing-masing bertugas berpasangan untuk suatu kurun waktu yang bersamaan, seperti pasangan masa kini adalah: 
Dhyani Buddha Amitabha (Dharmakaya)
Manussi Buddha Sakyamuni (Nirmanakaya)
Dhyani Bodhisattva Avalokitesvara (Sambhogakaya).

Sedangkan pasangan masa lalu adalah:
Vairocana, Aksobhya, Ratnasambhava (Dhyani Buddha)
Kakusanda, Kanogama, Kassapa (Manussi Buddha)
Samantabhadra, Vajrapani, Ratnapani (Dhyani Bodhisattva)

Dan pasangan yang akan datang adalah:
Amoghasidhi (Dhyani Buddha)
Maitreya (Manussi Buddha)
Visvapani (Dhyani Bodhisattva)

Panca Dhyani Buddha merupakan aspek keseluruhan akan Dharmakaya atau Tubuh-Kenyataan, yang mana mewujudkan prinsip akan pencerahan. Pada awalnya dua Buddha tampak mewakili kebijaksanaan dan kasih sayang. Mereka adalah, secara berurutan Akṣobhya dan Amitābha. Perbedaan selanjutnya mewujudkan aspek akan kekuatan, atau kegiatan, dan aspek akan keindahan, atau kekayaan spiritual. Dalam Sutra of Golden Light (sebuah sutra Mahayana awal), tokoh-tokoh tersebut diberi nama Dundubishvara, dan Ratnaketu, tetap sejalan dengan waktu nama mereka berubah menjadi Amoghasiddhi dan Ratnasaṃbhava. Figur yang berada di pusat menjadi dinamakan Vairocana.

Susunan dari masing - masing Buddha dalam Panca Dhyani Buddha adalah sebagai berikut: 
1. Vairocana. Warna Putih / Posisi Tengah / Memutar Roda Dharma - Kebodohan / Ignorance
2. Aksobhya. Warna Biru / Posisi Timur / Menjaga, Menghancurkan - Kemarahan, Kebencian
3. Amitabha. Warna Merah / Posisi Barat / Menarik, Menundukkan - Egoisme
4. Ratnasambhava. Warna Kuning / Posisi Selatan / Memperkaya, Meningkatkan - Kebanggaan
5. Amoghasiddhi dan. Warna Hijau / Posisi Utara / Menenangkan - Iri Hati
Unknown Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

SEJARAH SANGHARAMA BODHISATTVA / GUAN GONG - AWAL MULA SEBAGAI PELINDUNG DHARMA (BAGIAN 5 - AKHIR)




Kisah berikut ini terjadi beberapa ratus tahun setelah gugurnya Guan Yu. Berdasarkan catatan sejarah Buddhis – Fozhu Tongji, pada tahun 592 M, (dinasti Sui, era Kai Huang ke-12), disebutkan bahwa pada suatu malam, langit tiba-tiba menjadi cerah, bulan terlihat jelas sekali, Guan Yu bersama Guan Ping dan sekelompok makhluk gaib muncul di hadapan Master Tripitaka Zhiyi (pendiri aliran Tiantai Tiongkok) yang sedang bermeditasi dibukit Yuquan. Guan Yu berkata ”Saya Guan Yu dari era akhir Dinasti Han. Ini adalah putra saya, Guan Ping. Kami terus berkelana setelah meninggal. Yang Arya, dengan tujuan apakah anda datang ke sini? Master Zhiyi menjawab, ”Aku datang kesini untuk mendirikan vihara.”

Guan Yu menjawab, ”Yang Arya, ijinkanlah kami untuk membantumu. Tidak jauh dari sini, terdapat lahan yang kokoh tanahnya. Saya dan putra saya dengan senang hati akan membangun vihara disana untuk anda. Mohon lanjutkan meditasinya, vihara akan selesai dalam waktu 7 hari saja.” Setelah Master Zhiyi selesai meditasi, terlihat sebuah vihara yang sangat indah muncul persis di tempat yang ditunjukkan oleh Guan Yu. Vihara itu kemudian diberi nama Vihara Yuquan.

Suatu hari Guan Yu datang ke Vihara Yuquan untuk mendengarkan Master Zhiyi membabarkan Dharma, setelah itu beliau memohon untuk dapat menjadi siswa Buddha dengan menerima Trisarana dan Pancasila Buddhis. “Aku sangat beruntung mendapat kesempatan mendengarkan Dharma dan beraspirasi mempraktikkan Jalan Bodhi (pencerahan) mulai dari sekarang. Mohon ijinkanlah saya untuk menerima sila dari anda,” demikian ucap Guan Yu kepada Master Zhiyi. Master Zhiyi kemudian membangun sebuah kuil untuk Guan Yu di sebelah Barat Daya Vihara. Sebuah batu ukiran yang bertajuk tahun 820 M di Vihara Yuquan mengisahkan tentang pertemuan antara Guan Yu dan Zhiyi tersebut.

Selain kisah diatas, ada versi lain tentang kisah bagaimana Guan Yu menjadi seorang pemeluk agama Buddha. Dikatakan bahwa pada suatu malam Guan Yu menemui Bhiksu Zhikai, murid dari Tiantai Master Zhiyi, dan menerima Trisarana dari Bhiksu Zhikai. Kemudian Bhiksu Zhikai melaporkan perjumpaannya dengan Guan Yu tersebut kepada Yang Guang, Pangeran Jin (yang kelak akan dikenal sebagai Kaisar Sui-Yang Di). Pangeran Yang Guang memberikan Guan Yu gelar ”Sangharama Bodhisattva”. Itulah asal muasal dari mana gelar Sangharama diberikan kepada Guan Yu.

Pada kisah lainnya, seperti dalam catatan Kisah Tiga Negara (San Guo Yan Yi / Sam Kok), Guan Yu muncul dihadapan Bhiksu Pujing di malam sat gugur karena dipenggal oleh pihak Sun Quan, Raja Wu. Tubuhnya dikubur di dekat Bukit Yuquan yaitu di JingZhou. Di sela-sela kegalauan atas kehilangan kepala, raga halus Guan Yu bergentayangan mencari kembali kepalanya. Bhiksu Pu Jing dengan kekuatan batinnya melihat Guan Yu turun dari angkasa penunggang kuda sambil menggenggam golok besar Naga Hijau, bersama dengan 2 pria, Guan Ping dan Zhou Cang. Semasa hidupnya saat dalam pelarian dari kubu Cao Cao, Guan Yu pernah ditolong oleh Pu Jing di vihara Zhen-guo. Lalu Bhiksu Pu Jing memukul pelana kuda dengan kebutan cambuknya seraya berkata, ”Dimana Yun Chang?” seketika itu juga Guan Yu tersadarkan.

Guan Yu kemudian memohon petunjuk untuk dapat terbebas dari kegelapan pengembaraan batin. Pu Jing memberi nasihat, “Dulu salah atau sekarang benar tak perlu dipersoalkan lagi, karena terjadi pada saat sekarang tentunya ada sebab pada masa lalu.” Pu Jing lalu melanjutkan, “sekarang engkau meminta kepalamu, menuntut atas kematianmu di tangan Lu Meng, namun kepada siapa Yan Liang, Wen Chou dan penjaga lima perbatasan serta banyak lagi yang lainnya yang telah kamu bunuh, meminta kembali kepala mereka?” kata-kata Pu Jing itu terasa sangat menyentak.

Setelah tersadarkan dari kegalauannya, Guan Yu lalu menjadi pengikut Buddhis. Sejak itu Guan Yu sering muncul melindungi masyarakat di sekitar Bukit Yuquan. Sebagai rasa terima kasih kepada Guan Yu, para penduduk membangun Vihara dipuncak Bukit Yuquan.

Gubuk rumput tempat tinggal Pu Jing kemudian dibangun menjadi Vihara Yuquan. Vihara Yuquan ini didirikan pada abad ke 6 M dan didalamnya ada aula Sangharama. Ini adalah salah satu tempat pemujaan Guan Yu yang tertua, juga merupakan Vihara tertua di Dangyang. Tempat penampakan raga halus Guan Yu ditandai dengan sebatang pilar batu yang dituliskan: “Disini tempat Guan Yun Chang dari dinasti Han menampakkan diri.” Pilar batu itu adalah hadiah dari Kaisar Wan Li masa dinasti Ming dan masih bisa dilihat sampai sekarang. Dalam sutra Saptabuddha Ashtabodhisattva Maha Dharani Sutra (sutra tentang Mantra Sakti Mahadharani yang dibabarkan 7 Buddha dan 8 Bodhisattva) tercatat bahwa ada 18 Sangharama (Qielan Shen) sebagai pelindung lingkungan vihara, yaitu: Meiyin, Fanyin, Tian’gu, Tanmiao, Tanmei, Momiao, Leiyin, Shizi, Miaotan, Fanxiang, Renyin, Fonu, Songde, Guangmu, Miaoyan, Cheting, Cheshi, dan Bianshi.

Guan Yu sendiri bukanlah sosok yang tercatat dalam sutra Mahayana sebagai Sangharama. Sangharama sendiri mengandung pengertian sebagai tempat tinggal anggota Sangha, atau lebih umum dikenal sebagai Vihara. Secara etimologi, istilah Sangharama telah dikenal sejak masa kehidupan Buddha. Selain 18 dewa Sangharama yang telah disebutkan di atas, dua tokoh yang dianggap sebagai pelindung utama Sangharama adalah Anathapindika dan Pangeran Jeta, penyokong Vihara Jetavanarama pada masa kehidupan Buddha.

Secara kualitatif, Guan Yu memiliki pengabdian yang setara dengan para pelindung Sangharama, pun karena memiliki komitmen yang besar untuk melindungi lingkungan Vihara, maka tidaklah mengherankan bila kemudian diapresiasi secara khusus oleh Mahayana Tiongkok sebagai Bodhisattva Sangharama. Ada juga yang menyebutnya Bodhisattva Satyadharma Kalama.

Di kalangan Mahayana Tiongkok, Guan yu sering ditampilkan berdiri berpasangan dengan Dharmapala Veda (Weituo Pusa) yang juga merupakan pelindung Dharma. Keduanya mendampingi rupang Buddha atau Avalokitesvara.
Unknown Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

KISAH 100 BUDDHA & BODHISATTVA - RATU MAYA / QUEEN MAYA




Ratu Maya dari Sakya (Māyādevī) adalah ibu kandung Pangeran Siddhartha (yang kelak menjadi Buddha Gautama). Dia adalah kakak dari Mahapajapati Gotami, wanita pertama di dunia yang ditahbiskan menjadi seorang biksuni. "Maya" berarti "Ilusi" atau "Pesona" dalam bahasa Sanskerta dan Pali. Maya juga sering disebut Mahamaya (Maya yang Agung) dan Mayadevi (Dewi Maya). Di dalam bahasa Tibet, dia juga disebut Gyutrulma. Ratu Maya lahir di Kerajan Devadaha di Nepal.

Mayadevi dan Mahāpajāpatī Gotamī adalah putri-putri Koliya dan merupakan adik perempuan dari Raja Suprabuddha.

Menurut Sutra, beberapa saat sebelum Ratu Maya melahirkan seorang anak laki-laki, terdapat 8 pertanda keberuntungan yang muncul di dalam istana Raja Suddhodana. Sekelompok burung berbondong-bondong hinggap di atap istana dan berkicau dengan riangnya bagaikan saling merespon satu sama lain. Beraneka ragam bunga mekar bersamaan walau di luar musimnya. Bunga teratai yang sangat indah dan sangat besar, sebesar roda kereta, secara tiba-tiba bermunculan dari dalam danau.

Mengamati beberapa pertanda ini, Ratu Maya masuk kembali ke dalam istana dan merenungkan dengan tenang semua fenomena yang terjadi. Pada saat itu juga, sesosok Bodhisattva bertransformasi menjadi seekor gajah putih yang mempunyai 6 gading dan kemudian masuk secara gaib ke dalam rahim nya.

Menurut adat kebiasaan masyarakat pada saat itu, Ratu Maya haruslah pulang ke rumah orang tua nya untuk proses persalinan. Ketika hari untuk kelahirannya sudah dekat, Raja Suddhodana mengutus beberapa pengawal pilihan untuk mengawal kepulangan Ratu Maya ke rumah orang tua nya. Ketika rombongan tersebut melewati Taman Lumbini yang terletak di antara Kerajaan Kapilavastu dan Kerajaan Devadaha, mereka memutuskan untuk berhenti dan beristirahat sejenak. Karena sudah memasuki musim semi, burung-burung pun bernyanyi dengan riangnya dan bunga-bunga bermekaran dimana mana. Sebuah pohon sala yang tinggi dan besar dengan dedaunan yang berbentuk oval kemudian membentuk sebuah bayangan yang besar yang meneduhi mereka. Penuh dengan bunga yang memenuhi udara di sekitar mereka dengan keharuman. Sang Ratu menghampiri pohon yang sala yang tertinggi dan terbesar yang ada di taman itu dengan niatan untuk menjangkau rantingnya. Namun secara misterius, ranting pohon tersebut membengkok dengan sendirinya dan dapat dengan mudah digapai oleh Sang Ratu. Dan dengan sekejap, dalam posisi berdiri, Sang Ratu pun melalui proses kelahiran. 
Seorang bayi yang lahir di Taman Lumbini itu tidak lain adalah Pangeran Suddharta.

Sesaat setelah Sang Pangeran kecil lahir, dua arus kecil jatuh dari langit, yang satu dingin sedangkan yang lainnya hangat. Arus tersebut membasuh tubuh Sang Pangeran. Ia lahir dalam keadaan bersih tanpa noda, berdiri tegak dan langsung dapat melangkah ke arah utara, dan tempat yang dipijakinya ditumbuhi bunga teratai.

Di Nepal, terdapat sebuah Kuil Mayavihara yang terletak di Taman Lumbini. Disana terdapat sebuah lukisan dinding yang diukir di sebuah permukaan batu yang kemudia dilestarikan yang menggambarkan proses kelahiran agung tersebut.

Ratu Maya meninggal pada hari ketujuh setelah kelahiran Pangeran Siddharta, yang kemungkinan disebabkan oleh perjalanan jauh dan melelahkan yang dilaluinya pada saat kehamilannya. Dikatakam bahwa Ratu Maya naik ke Surga ke 33 atau Trayastrimsa.

Pada saat Shakyamuni Buddha mencapai Parinibbana, Ratu Maya turun dari Surga dan hadir ke lokasi kremasi Sang Buddha. Mengetahui kehadiran dari Ibunya, Shakyamuni Buddha pun memberikan khotbah Dharma kepada Ibunya guna mamenuhi bakti-Nya kepada Sang Ibu.
Unknown Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

SEJARAH SANGHARAMA BODHISATTVA / GUAN GONG - TABIB HUA TUO MENGOBATI LENGAN GUAN YU DALAM NOVEL SAM KOK / KISAH TIGA NEGARA (BAGIAN 4)




Dalam Bab 75, selama pengepungan pada Fancheng / 樊城 (sekarang Xiangfan, Hubei), lengan Guan Yu terluka oleh sambaran panah yang ditembakkan oleh musuh. Panah itu segera dicabut tapi racun yang dioleskan pada mata panah sudah meresap ke dalam lengan Guan Yu. Guan Yu tidak mau memerintahkan pasukannya untuk mundur sehingga bawahannya mencari seorang tabib untuk mengobati lukanya. Tabib yang terkenal Hua Tuo muncul tepat pada waktu dan menawarkan diri untuk merawat luka Guan Yu.


Hua Tuo mendiagnosa bahwa dia perlu melakukan operasi pada lengan Guan Yu, dengan memotong membuka dan mengorek daging dari sisa-sisa racun pada tulang. Hua Tuo juga menyarankan bahwa Guan Yu harus menutup mata dan mengikat lengannya erat-erat karena akan dilakukan operasi dan tidak adanya anestesi dapat membuat pasiennya tidak dapat menahan rasa sakit yang luar biasa dari operasi itu. Namun, Guan Yu meminta agar operasi dilakukan saat itu juga dan ia terus melanjutkan permainan Weiqi dengan Ma Liang selama operasi.

Sepanjang operasi, mereka yang menonton di dekatnya merasa ngeri saat mereka menyaksikan adegan mengerikan di depan mereka, tetapi Guan Yu tetap tenang dan tidak menunjukkan tanda-tanda sakit sama sekali. Akhirnya, Hua Tuo berhasil menyembuhkan luka Guan Yu dan menjahitnya setelah menerapkan pengobatan dan kemudian pergi tanpa menerima imbalan apapun.
Unknown Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

SEJARAH SANGHARAMA BODHISATTVA / GUAN GONG - KISAH GUAN YU KETIKA BERADA DI BAWAH CAO CAO DALAM NOVEL SAM KOK / KISAH TIGA NEGARA (BAGIAN 3)




Dalam Bab 25, Cao Cao menyerang wilayah Liu Bei dari Xuzhou dan mengalahkan pasukan Liu Bei. Ketiga bersaudara ini pun terpisah sementara. Guan Yu bertugas membela Xiapi, di mana istri Liu Bei diberi tempat tinggal. Guan Yu dipancing keluar dari kota dan terkepung di bukit dekatnya sementara kota ini jatuh ke pasukan Cao Cao. Cao Cao mengirim Zhang Liao untuk membujuk Guan Yu untuk menyerah. Guan Yu mengkhawatirkan keselamatan saudara perempuannya mertuanya ketika ia melihat bahwa sebagai tanggung jawabnya. Setelah banyak pertimbangan, Guan Yu setuju untuk tunduk kepada Cao Cao dengan tiga syarat:


1. Dalam nama, Guan Yu menyerahkan diri kepada Emperor Xian (yang sebenarnya penguasa boneka di Cao Cao kontrol) dan tidak untuk Cao Cao.

2. Istri Liu Bei tidak boleh dirugikan dengan cara apapun. Mereka harus diperlakukan dengan penuh hormat dan kehormatan.

3. Jika Guan Yu berhasil menemukan keberadaan Liu Bei (yang nasibnya belum diketahui setelah pertempuran) suatu hari, ia akan meninggalkan Cao Cao agar bisa bersatu dengan saudara angkatnya itu.

Cao Cao setuju untuk ketiga syarat ini meskipun ia merasa cemas untuk syarat yang terakhir. Guan Yu kemudian menyerahkan diri kepada Cao Cao dan bertugas dibawah Cao Cao untuk jangka waktu yang singkat. Oleh Cao Cao, Guan Yu diperlakukan dengan sangat hormat dan diberikannya kepada Guan Yu berbagai macam hadiah, kemewahan dan wanita. Serta seekor kuda yang terkenal yaitu Red Hare / Kelinci Merah yang dulu dimilik oleh Lü Bu.

Guan Yu tidak terlalu terkesan terhadap hadiah-hadiah Cao Cao, tetapi ketika Cao Cao memberinya kuda Red Hare, ia berlutut dan berterima kasih Cao Cao. Ketika Cao Cao bertanya alasannya, Guan Yu menjawab, "Tuan, saya sangat berterima kasih kepada Anda untuk tunggangan ini karena dengan itu, aku bisa mencapai saudara angkat saya dalam jangka waktu yang lebih singkat jika saya tahu di mana dia berada.” Cao Cao agak menyesal setelah mendengar hal ini namun ia tak dapat menarik hadiah itu kembali.

Foto Cetya Tathagata Jakarta.
Unknown Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

SEJARAH SANGHARAMA BODHISATTVA / GUAN GONG - DALAM NOVEL SAM KOK / KISAH TIGA NEGARA (BAGIAN 2)




Guan Gong dilahirkan di kabupaten Jie, wilayah Hedong (sekarang kota Yuncheng, provinsi Shanxi) pada tanggal 24 bulan 6 Imlek. Ia bernama lengkap Guan Yu (關羽) (160 - 219 M), alias Yun Chang (雲長) / Kwan In Tiang (Hokkian).


Sejak kecil Guan Yu dididik dalam bidang kesusastraan dan sejarah. Beliau sangat menggemari kitab sejarah Chunqiu (Musim Semi dan Gugur) dan Zuozhuan (kitab sejarah karya Zuo Qiuming). Guan Yu memiliki 3 orang anak: Guan Ping (關平) , Guan Xing (關興) dan Guan Suo (関索).

Guan Yu di dalam kisah novel Sam Kok merupakan jenderal utama Negara Shu Han yang bersumpah setia mengangkat saudara dengan Liu Bei (kakak tertua) dan Zhang Fei (adik terkecil).

Salah satu watak istimewa yang dimiliki Guan Yu adalah jiwa setia dan ksatria, beliau berani membela yang lemah dan tertindas. Tahun 184, Guan Yu melarikan diri dari kampung halamannya setelah membunuh orang demi membela kaum lemah. Beliau menuju wilayah Zuo, kemudian berkenalan dengan Liu Bei (劉備) dan Zhang Fei(張飛). Liu Bei adalah anggota keluarga Kaisar Kerajaan Han yang sedang merekrut prajurit untuk membasmi pemberontakan Serban Kuning. Karena memiliki cita-cita yang sama, maka mereka bertiga menjalin tali persaudaraan yang dikenal dengan sebutan Tiga Pertalian Setia di Taman Bunga Persik. Semenjak itu, mereka bertiga berkomitmen sehidup semati memperjuangkan cita-cita penegakan hukum demi membersihkan Kerajaan Han dari gerogotan korupsi dan pengkhianatan.

Namun Kerajaan Han yang telah berdiri kokoh selama 400 tahun itu akhirnya terpecah menjadi 3 kerajaan, yang mana Liu Bei sebagai salah satu anggota keluarga kerajaan menyatakan diri sebagai penerus Dinasti Han. Era inilah yang kemudian terkenal dengan sebutan San Guo (Sam Kok - Tiga Negara). Perjuangan keras tiga bersaudara Taman Bunga Persik untuk mempersatukan Tiongkok tidak berhasil. Begitulah hingga usia 60 tahun, Guan Yu bersama putranya, Guan Ping, akhirnya gugur dalam pertempuran.

Meskipun demikian, rasa hormat terhadap Guan Yu tidak serta merta lenyap seiring dengan gugurnya pahlawan berparas merah lebam ini. Keberanian, kesetiaan dan jiwa ksatria beliau menjadi kisah harum dalam masyarakat Tionghoa selama turun temurun. Selain itu, dalam kalangan spiritual, dikenal pula kisah perjodohan Guan Yu dengan ajaran Buddha, sebuah ajaran kebenaran sejati yang menembus kepekatan misteri dimensi ruang dan waktu. Guan Yu menjadi siswa Buddha setelah beliau gugur.
Unknown Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

SEJARAH SANGHARAMA BODHISATTVA / GUAN GONG - PENGENALAN (BAGIAN 1)




Sangharama Bodhisattva / Guang Gong / 關公 atau sering disebut Guan Di, yang berarti paduka Guan, adalah seorang panglima perang kenamaan yang hidup pada zaman San Guo / Sam Kok (221 – 269 Masehi).


Oleh kaisar Han, Guan Gong diberi gelar Han Shou Ting Hou. Guan Gong dipuja karena kejujuran dan kesetiaan. Dia adalah lambang atau teladan ksatria sejati yang selalu menepati janji dan setia pada sumpah-Nya. Sebab itu Guan Gong banyak dipuja dikalangan masyarakat, disamping kelenteng / vihara khusus. Disamping dipuja sebagai lambang kesetiaan dan kejujuran, Guan Gong juga dipuja sebagai Dewa Pelindung Perdagangan, Dewa Pelindung Kesusastraan dan Dewa Pelindung Rakyat dari malapetaka peperangan yang mengerikan.

Julukan Dewa Perang sebagai umumnya dikenal dan dialamatkan kepada Guan Gong, harus diartikan sebagai Dewa untuk menghindarkan peperangan dan segala akibatnya yang menyengsarakan rakyat, sesuai dengan watak Guan Gong yang budiman.

Bentuk tubuhnya tinggi besar, berjenggot panjang dan berwajah merah. Tentang wajah-Nya yang berwarna merah ini adalah sebuah cerita tersendiri yang tidak terdapat dalam novel San Guo / Sam Kok / Kisah Tiga Negara.
Unknown Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

KISAH 100 BUDDHA & BODHISATTVA (BUDDHA OF THE THREE TIMES / BUDDHA DARI TIGA MASA) - DIPANKARA BUDDHA / RANDENG FO / 燃燈佛 / མར་མེ་མཛད།




Dipankara dalam bahasa sansekerta mempunyai makna "Burning Lamp" / "Lamp Bearer" yang mempunyai arti "Pelita Yang Menyala" / "Pembawa Pelita" Oleh karena itu Buddha Dipankara mempunyai makna "Buddha Pembawa Pelita" / "Buddha Pelita Yang Menyala".

Menurut legenda, Buddha Dipankara terlahir pada malam hari. Pada saat Beliau lahir, tubuh-Nya memancarkan sinar yang menerangi seisi ruangan menyebabkan satu ruangan penuh dengan cahaya yang terang benderang. Oleh karena itu, kedua orang tuanya menamakan-Nya Dipankara.


Pada kelahiran sebelumnya, Buddha Shakyamuni adalah pengikut yang sangat taat dari Buddha Dipankara. Dahulu, Shakyamuni Buddha pernah mempersembahkan setangkai bunga teratai yang mempunyai 5 kelopak kepada Buddha Dipankara. Menurut Sutra Sadharmapundarika, bunga teratai adalah suatu bunga yang sangat suci dalam ajaran Buddha dan merupakan simbol dari kemurnian dan keindahan dari ajaran Buddha. Lalu, bunga teratai dengan 5 helai kelopak adalah sesuatu yang sangat jarang ditemukan / dilihat dimana mana, merupakan bunga yang sangat langka. Buddha Dipankara demikian senangnya atas persembahan tersebut dan lalu bernubuat bahwa seorang Shakyamuni akan mencapai pencerahan sempurna setelah 91 kalpa dan akan menanggung nama Shakyamuni.

Buddha Dipankara diperhitungkan sebagai guru bagi Buddha Shakyamuni di dalam garis suksesi Shakyamuni mencapai pencerahan sempurna sebagai Buddha dan juga disebut sebagai "Buddha Masa Lampau". Ada banyak sekali kuil / vihara yang menahbiskan atau memberi penghormatan kepada "Para Buddha Dari Tiga Masa" yang diabadikan sebagai Dipankara Buddha (di sisi kiri), Shakyamuni Buddha (di tengah) dan Maitreya Buddha (di sisi kanan). Mereka disebut "Para Buddha Dari Tiga Masa" yang me-representasikan "Tiga Masa" yaitu "Masa Lampau, Masa Kini dan Masa Depan".

Dipankara Buddha secara umum digambarkan sebagai sosok Buddha yang sedang duduk, namun penggambarannya sebagai sosok Buddha yang sedang berdiri umum di Tiongkok, Thailand, dan Nepal. Dengan tangan kanan-Nya yang secara umum membentuk "Mudra Perlindungan" / "Abhaya Mudra" dan seringkali membentuknya dengan kedua tangan-Nya.
Unknown Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.