Ada seorang pemuda anak seorang bankir bertanya kepada seorang bhikkhu yang menghampiri rumahnya untuk berpindapatta, apakah yang harus dilakukan untuk membebaskan diri dari penderitaan dalam kehidupan saat ini. Bhikkhu itu menyarankan untuk memisahkan tanahnya dalam tiga bagian. Satu bagian untuk mata pencahariannya, satu bagian untuk menyokong keluarga, dan satu bagian lagi untuk berdana. Ia melakukan semua petunjuk itu, kemudian pemuda itu menanyakan lagi apa yang harus dilakukan selanjutnya. Disarankan lebih lanjut; pertama, berlindung kepada Tiratana dan melaksanakan lima sila; kedua, melaksanakan sepuluh sila; dan ketiga, meninggalkan kehidupan keduniawian dan memasuki Pasamuan Sangha.
Pemuda itu menyanggupi semua saran dan ia menjadi seorang bhikkhu. Sebagai seorang bhikkhu, ia mendapat pelajaran Abhidhamma dari seorang guru dan Vinaya oleh guru lainnya. Selama mendapat pelajaran ia merasa bahwa Dhamma itu terlalu berat untuk dipelajari, dan Peraturan Vinaya terlalu keras dan terlalu banyak, sehingga tidak banyak kebebasan, bahkan untuk mengulurkan tangan sekalipun. Bhikkhu itu berpikir bahwa mungkin lebih baik untuk kembali pada kehidupan berumah tangga. Karena alasan ragu-ragu dan tidak puas, ia menjadi tidak bahagia dan menyia-nyiakan kewajibannya. Dia juga menjadi kurus dan kering.
Ketika Sang Buddha datang dan mengetahui masalahnya, Beliau berkata, “Jika kamu hanya mengawasi pikiranmu, kamu tidak akan mempunyai apa-apa lagi yang akan diawasi; jadi jagalah pikiranmu sendiri”.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 36 berikut ini: Pikiran sangat sulit untuk dilihat, amat lembut dan halus; pikiran bergerak sesuka hatinya. Orang bijaksana selalu menjaga pikirannya, seseorang yang menjaga pikirannya akan berbahagia.
Bhikkhu muda itu bersama dengan para bhikkhu yang lain mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar