Jumat, 01 Juli 2016

HATI / LADANG BATIN SEBAGAI ASET UTAMA DALAM HIDUP




Dalam kehidupan manusia, ada 8 dukkha utama:

Kelompok 1 terdiri dari 4 macam dukkha yang merupakan dukkha secara fisik dan merupakan hukum alam, yang merupakan siklus kehidupan manusia yang tidak dapat terhindarkan. Hal ini sudah dibuktikan sendiri oleh Sang Buddha. Empat dukkha ini meliputi:
1. Lahir
2. Tua 
3. Sakit 
4. Mati

Kelompok 2 terdiri dari 4 macam dukkha batin, yang meliputi:
5. Tidak mendapatkan yang diinginkan
6. Berpisah dengan yang dicintai
7. Berkumpul dengan yang tidak disukai
8. Dukkha karena tumimbal lahir

Ada 1 kata bijak yang berbunyi:
“Physical suffering is inevitable, but mental suffering is optional” – Penderitaan secara lahiriah (fisik) tidak terhindarkan, namun kita dapat mempunyai pilihan untuk tidak menderita secara batin. Seringkali, kita sendiri lah yang menciptakan penderitaan dalam diri kita. Kita seringkali menciptakan suatu radius 50 meter untuk “merasakan” penderitaan yang kita munculkan sendiri.

Misalnya, Anda melihat ada 2 orang yang berbisik-bisik. Dua orang ini tidak punya hubungan dekat dengan Anda... Maka, mulailah Anda berpikir yang aneh-aneh... “Wah, orang ini pasti gossip yang jelek-jelek tentang saya...” Padahal, kedua orang yang sedang berbisik-bisik ini tidak/ belum melakukan apa-apa pada Anda... Belum tentu juga dua orang ini membicarakan Anda... Kenapa kita membiarkan pikiran kita menyimpulkan demikian?

Kita ambil contoh Dukkha no. 5 “Tidak Mendapatkan Apa yang Diinginkan”… Siapakah yang “mengejar” di sini? Pikiran kita-lah yang menginginkan dan mengejar. Jadi, sebenarnya penderitaan kita disebabkan oleh batin/pikiran kita.

Batin memiliki beberapa sifat utama:
- Batin kita sangat melekat. 
- Batin kita cenderung lebih mudah terpengaruh oleh hal-hal yang negatif.

Di bawah ini adalah 2 kisah sebagai bahan perenungan tentang bagaimana penderitaan diciptakan oleh batin kita akibat kemelekatannya:

Cerita 1:
Jakarta diguyur hujan pada suatu hari. Ketika jam bubar kantoran, seorang karyawati ingin memesan taksi untuk pulang. Satu taksi lewat, namun menolak untuk mengangkutnya. Taksi kedua lewat, ternyata sudah berpenumpang. Beberapa taksi lewat, namun tidak ada yang dapat ditumpangi oleh karyawati ini. Setelah mencoba memanggil dengan susah payah, akhirnya si karyawati ini mendapatkan 1 taksi.

Dalam perjalanan, si karyawati tiba-tiba teringat bahwa uang di dompetnya mungkin tidak cukup untuk membayar argo taksi ini. Maka si karyawati ini berpikir untuk minta taksi ini berhenti di satu komplek ruko untuk mampir ke ATM dan menarik uang. Ternyata, ketika dia sedang berpikir, dia lupa memberi tahu driver taksi ini untuk berbelok di satu perempatan.

Si karyawati yang kaget ini lalu menepuk bahu si driver untuk memberitahukan supaya taksi ini bisa berbalik arah. Si driver menjadi sangat kaget dan mengerem taksi ini dengan sangat mendadak.

Karyawati ini ikut kaget dan bertanya, “Kenapa, Pak? Maaf, Bapak kaget ya?”

Si driver ternyata sampai berkeringat dingin dan lemas. Dia hanya menjawab, “Sebentar, ya, Dik… Saya perlu menenangkan diri…”

Karyawati ini bertanya, “Bapak sakit, Pak?”

Si driver ini menjawab, “Tidak apa-apa, Dik. Hanya saja, ini hari pertama saya membawa taksi.”

Si karyawati ini pun kaget, “Wah, jadi Bapak baru dapat SIM?”

Driver ini menjawab, “Bukan… Kalau SIM, sih, sudah lama saya dapat… Hanya saja, sebelumnya saya biasa mengendarai mobil jenazah, Dik…”

Demikianlah batin kita yang bersifat melekat. Driver ini masih melekat pada kebiasaan dari pekerjaan lamanya, dimana ia mengendarai tanpa adanya interupsi. Bayangkan, jika teman perjalanan Anda yang sudah menjadi almarhum bisa menepuk bahu Anda... Apakah Anda tidak akan kaget dan berkeringat dingin juga?

Setelah sekian lama kita melakukan sesuatu, pikiran kita menjadi begitu terbiasa dan melekat pada kebiasaan ini. Sehingga ketika kita beralih, maka akan butuh waktu yang lama untuk beradaptasi, alias belum bisa “move on”.

Cerita 2:
Alkisah, Sang Buddha berjalan melewati rumah orang kaya. Orang kaya ini memelihara seekor anjing. Anjing ini menjadi kesayangan majikannya. Biasanya kursi malas yang ada di ruang tamu ini tidak boleh diduduki orang lain. Hanya anjing itu yang selalu tidur di kursi malas yang empuk dan hangat itu. Anjing itu bahkan sangat jarang dan hampir tidak pernah meninggalkan kursi malasnya. Bahkan, ketika si anjing makan sehari tiga kali pun, dia tetap duduk di atas kursi ini. Makanan anjing ini dihidangkan dengan peralatan makan yang sangat mewah.

Ketika Buddha memasuki rumah itu, bertepatan saat anjing ini sedang makan. Ketika anjing ini melihat Buddha, dia melompat turun dari kursinya, menyalak dengan galak, sehingga Buddha tidak bisa mendekatinya.
Buddha kemudian berkata kepada anjing ini, ”Sifat tamakmu terhadap harta masih belum berubah, pada kehidupan yang lalu begitu, pada kehidupan sekarang masih tetap tidak bisa berubah.”

Setelah berkata demikian sang Buddha membalikkan badan meninggalkan tempat itu. Anjing ini setelah mendengar perkataan sang Buddha, dengan sedih menelungkupkan badannya di lantai. Tidak berapa lama kemudian, majikannya pulang. Anjing ini tidak seperti biasanya dengan gembira menyambut majikannya, tetap menelungkupkan badannya di lantai.

Majikannya memanggilnya, dia tetap tidak berdiri dan mendekati majikannya, kelihatannya dia sangat sedih. Akhirnya majikannya menanyakan kepada pembantunya, siapa yang menyakiti anjingnya sehingga anjingnya kelihatan sangat sedih?

Pembantunya kemudian bercerita bahwa tadi sang Buddha lewat. Anjingnya turun dari kursi malas menyalak dengan galak. Tetapi setelah Buddha berkata beberapa kata, anjing ini berubah menjadi sedih, makanannya juga tidak disentuh.

Orang kaya ini sangat menyayangi anjingnya, setelah mendengar cerita bergegas pergi mencari Buddha dan bertanya kepadaNya, ”Engkau demikian berbelas kasih, kenapa ketika melewati rumah saya, memarahi anjing saya, hingga dia menjadi sangat sedih?” tanyanya.

Sang Buddha menjawab dengan bijaksana, ”Engkau sangat menyayangi anjingmu, karena anjingmu pada kehidupan yang lalu adalah ayah kandungmu. Kehidupan dahulu dia juga sangat suka kepadamu, hal ini adalah wajar,” katanya.

Orang kaya ini setelah mendengar perkataan Buddha, di hatinya timbul kecurigaan lalu dia bertanya kepada Buddha lagi, ”Bagaimana saya bisa membuktikan bahwa dia pada kehidupan yang lalu adalah benar-benar ayah saya?”

Buddha mengatakan kembali kepada orang kaya tersebut, ”Dia mempunyai kebiasaan, mempunyai keterikatan yang sangat besar kepada harta, ketika engkau kecil, karena takut kehilangan hartanya, dia menyembunyikan uang dan harta karunnya. Karena keterikatan yang parah terhadap harta karunnya, sehingga ketika dia meninggal masih khawatir kepada uang dan harta karun yang disimpan sehingga dia reinkarnasi menjadi anjing dirumahmu. Sejak lahir dia sudah sangat menyukaimu, biasanya setiap hari dia tidak pernah meninggalkan kursi malas yang biasanya diduduki ayahmu, jika engkau tidak percaya, pulanglah dan tanyakan kepadanya dimana dia dahulu menyimpan hartanya?”

Orang kaya ini setelah mendengar perkataan Buddha, lalu pulang ke rumahnya. Sambil mengelus-elus anjingnya dia berjongkok bertanya kepada anjingnya, ”Jika benar engkau memang ayah saya, tolong bawa saya ke tempat dimana engkau menyembunyikan uang dan harta karunmu?”

Akhirnya, anjing ini tidak berhentinya mengendus-endus dibawah kursi malas, dengan tangannya menggaruk-garuk lantai. Melihat gerakan anjingnya, setengah percaya setengah curiga, akhirnya dia menyuruh pembantunya mencangkul lantai di bawah kursi malas.

Setelah dicangkul lebih kurang satu meter, mereka melihat sebuah kotak besar. Di dalam kotak ternyata berisi uang dan harta karun. Kotak uang dan harta karun itu, selama ini tersembunyi di bawah kursi malas!”

Setelah melihat kotak berisi uang dan harta karun ini, karena sedih orang kaya itu meneteskan airmata.
”Sungguh mengerikan! Jika di dalam hati tamak dengan harta sungguh mengerikan! Ayah saya demi menjaga hartanya, setelah meninggal, rela reinkarnasi menjadi seekor anjing demi menjaga hartanya. Sungguh kasihan, sungguh menyedihkan dan juga sungguh menakutkan!” katanya.

Begitulah, ladang batin kita memiliki fungsi sebagai “eighth consciousness” atau kesadaran kedelapan. Sesuai namanya, apapun yang kita tanam di “ladang” ini akan menjadi benih yang siap tumbuh… Namun, kita tidak tahu pasti kapan benih (karma) ini akan bertunas, berbunga, atau berbuah… Bisa saja di kehidupan ini, dan bisa juga di kehidupan-kehidupan kita mendatang. Cerita kedua ini menunjukkan kemelekatan batin yang diteruskan sampai ke kehidupan selanjutnya.
Sudah pindah kehidupan pun, orang kaya ini tetap membawa kekhawatiran dan kekhawatirannya akan hartanya.
Unknown Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar