RIWAYAT SHAKYAMUNI BUDDHA - PART 1 (KELAHIRAN PANGERAN SIDDHARTA)
Buddha Gautama dilahirkan dengan nama Siddhārtha Gautama (Sanskerta: Siddhattha Gotama; Pali: "keturunan Gotama yang tujuannya tercapai"), dia kemudian menjadi Buddha (secara harfiah: orang yang telah mencapai Penerangan Sempurna). Dia juga dikenal sebagai Shakyamuni ('orang bijak dari kaum Sakya') dan sebagai Tathagata. Siddhartha Gautama adalah guru spiritual dari wilayah timur laut India yang juga merupakan pendiri Agama Buddha. Ia secara mendasar dianggap oleh pemeluk Agama Buddha sebagai Buddha Agung (Sammāsambuddha) pada masa sekarang.
Siddhartha Gautama merupakan figur utama dalam agama Buddha, keterangan akan kehidupannya, khotbah-khotbah, dan peraturan keagamaan yang dipercayai oleh penganut agama Buddha dirangkum setelah kematiannya dan dihafalkan oleh para pengikutnya. Berbagai kumpulan perlengkapan pengajaran akan Siddhartha Gautama diberikan secara lisan, dan bentuk tulisan pertama kali dilakukan sekitar 400 tahun kemudian. Pelajar-pelajar dari negara Barat lebih condong untuk menerima biografi Buddha yang dijelaskan dalam naskah Agama Buddha sebagai catatan sejarah, tetapi belakangan ini "keseganan pelajar negara Barat meningkat dalam memberikan pernyataan yang tidak sesuai mengenai fakta historis akan kehidupan dan pengajaran Buddha.
Ayah dari Pangeran Siddhartha Gautama adalah Sri Baginda Raja Suddhodana dari Suku Sakya dan ibunya adalah Ratu Mahāmāyā Dewi. Ibunda Pangeran Siddharta Gautama meninggal dunia tujuh hari setelah melahirkan Pangeran. Setelah meninggal, dia terlahir di alam/surga Tusita, yaitu alam surga luhur. Sejak meninggalnya Ratu Mahāmāyā Dewi, Pangeran Siddharta dirawat oleh Ratu Mahā Pajāpati, bibinya yang juga menjadi isteri Raja Suddhodana.
Raja Suddhodana dan Ratu Maya sudah lama menikah, namun anak yang mereka dambakan belum juga mereka peroleh, sampai suatu waktu Ratu Maya mencapai umur 45 tahun. Ketika itu Ratu Maya ikut serta dalam perayaan Asalha yang berlangsung selama tujuh hari. Setelah perayaan selesai Ratu Maya mandi dengan air wangi, mengucapkan janji uposatha dan kemudian masuk ke kamar tidur. Sewaktu tidur Ratu Maya memperoleh impian yang aneh sekali.
Ratu bermimpi bahwa empat orang Dewa agung telah mengangkatnya dan membawanya hingga ke Gunung Himalaya dan meletakkannya di bawah pohon Sala. Kemudia para istri dewa-dewa tersebut memandikannya di danau Anotatta, menggosoknya dengan minyak wangi dan kemudian memakaikannya pakaian-pakaian yang biasa di pakai para dewata. Selanjutnya Ratu di pimpin masuk kesebuah istana emas dan direbahkan di sebuah dipan yang bagus sekali. Di tempat itulah seekor gajah putih dengan memegang sekuntum bunga teratai di belalainya memasuki kamar, mengelilingi dipan sebanyak tiga kali untuk kemudian memasuki perut Ratu Maya dari sebelah kanan.
Ratu memberitahukan impian ini kepada Raja dan Raja lalu memanggil para Brahmana untuk menanyakan arti impian tersebut. Para Brahmana menerangkan bahwa Ratu akan mengandung seorang bayi laki-laki yang kelak akan menjadi seorang Cakkavatti (Raja dari semua raja) atau seorang Buddh
Memang sejak hari Ratu mengandung dan Ratu Maya dapat melihat jelas bayi itu dalam kandungannya yang duduk dalam sikap meditasi dengan muka menghadap ke depan. 10 bulan kemudian di bulan Vaisak Ratu memohon kepada Raja untuk dapat bersalin di rumah ibunya di Devadaha. Dalam perjalanan ke Devadaha tibalah rombongan Ratu di Taman Lumbini yang indah sekali
Di kebun itu Ratu memintahkan rombongan berhenti untuk istirahat. Dengan gembira Ratu berjalan-jalan di taman dan berhenti di bawah pohon Sala. Pada waktu itulah Ratu merasa perutnya agak kurang enak. Dengan cepat dayang-dayang membuat tirai sekeliling Ratu. Ratu berpegangan pada dahan pohon Salad an dalam sikap berdiri itulah Ratu melahirkan seorang bayi laki-laki, ketika itu tepat purnama sidi di bulan Vaisak tahun 623 SM
Empat Maha Brahma menerima bayi itu dengan jaring emas. Dari langit turunlah air hangat bercampur dingin untuk memandikan anak itu, walaupun sebetulnya sang bayi sudah bersih, tanpa darah yang melekat. Bayi itu kemudian berdiri tegak, berjalan tujuh langkah. Setiap dia menapak, di bawah kakinya tumbuhlah bunga teratai, lalu ia berkata :
“Akulah pemimpin di dunia ini
akulah tertua di dunia ini
akulah teragung di dunia ini
inilah kelahiranku yang terakhir
tak akan ada tumimbal lahir lagi”
Seorang pertapa yang bernama Asita (yang juga disebut Kaladevala) sewaktu bermeditasi di Pegunungan Himalaya, diberitahukan oleh para dewa dari alam Tavatimsa bahwa seorang bayi telah lahir yang kelak akan menjadi Buddha. Pada hari itu juga pertapa Asita berkunjung ke istana Raja Suddhodana untuk melihat bayi tersebut.
Setelah melihat Sang bayi dan memperhatikan adanya 32 tanda dari seorang Mahapurisa (“orang besar”), pertapa Asita memberi hormat kepada Sang bayi, yang kemudian diikuti juga oleh Raja Suddhodana. Setelah memberi hormat, pertapa Asita tertawa gembira tetapi kemudian menangis. Menjawab pertanyaan Raja Suddhodana, pertapa Asita menerangkan bahwa Sang bayi kelak akan menjadi Buddha, namun karena usianya sudah lanjut maka ia sendiri tidak lagi dapat menunggu bayi itu kelak memulai memberikan Ajaran-Nya. Selanjutnya pertapa Asita mengatakan bahwa Pangeran kecil itu kelak tidak boleh melihat empat peristiwa, yaitu :
1. Orang tua
2. Orang sakit
3. Orang mati
4. Pertapa suci
Tidak ada komentar:
Posting Komentar