Dewa Fu De Zheng Shen digambarkan sebagai seorang pria tua yang
tersenyum ramah, berambut serta berjanggut panjang berwana putih, dan
seringkali digambarkan dalam posisi duduk. Tidak banyak klenteng yang
membedakan antara Fu De Zheng Shen dengan Tu Di Gong. Jika klenteng
tersebut membedakan altar untuk keduanya, altar Fu De Zheng Shen selalu
berada di atas (sejajar dengan ketinggian altar-altar Dewa-Dewi yang
lain), sementara altar Tu Di Gong berada di bawah (hampir sejajar dengan
lantai) dan biasanya ditempatkan di bawah altar dewa yang lain. Tu Di
Gong sendiri sering juga divisualisasikan (dalam bentuk patung atau
lukisan) bersama dengan seorang nenek yang disebut “Tu Di Poo“.
Tu Di Gong sendiri adalah para Dewa Bumi yang menguasai tanah (area)
lokal, seperti sebuah area tanah tempat suatu bangunan didirikan.
Masing-masing wilayah memiliki Tu Di Gong yang berbeda. Konon Mereka
adalah kelompok Dewa yang berkedudukan paling rendah dalam “Tata
Birokrasi Surga” serta yang paling dekat dengan umat manusia. Karena
berhubungan dengan tanah (termasuk tanah pemakaman), altar untuk Tu Di
Gong selalu diletakkan sejajar dengan lantai atau tanah. Pada
makam-makam Tionghoa biasanya selalu memiliki sebuah bangunan kecil di
sampingnya yang digunakan untuk memuja Tu Di Gong.
Pada masa
lalu, hanya para pejabat pemerintah yang diperbolehkan untuk membangun
kuil pemujaan kepada tatanan para dewata. Masyarakat awam tidak
diperbolehkan untuk berdoa di sana. Namun, masyarakat menemukan cara
untuk bersembahyang kepada Tu Di Gong; masyarakat yang kebanyakan
merupakan petani atau penggarap sawah yang miskin itu membuat papan dari
tanah liat kemudian meletakkan di tanah sebagai media untuk berdoa.
Inilah asal usul mengenai kenapa altar untuk Tu Di Gong diletakkan di
atas tanah; sementara altar untuk Fu De Zheng Shen diletakkan di atas
meja altar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar