Kamis, 13 April 2017

Bait ke-25 terjemahan Guṇavarman atas surat terkenal Nāgārjuna, Su-hṛl Lekha,




Bait ke-25 terjemahan Guṇavarman atas surat terkenal Nāgārjuna, Su-hṛl Lekha, berbunyi:
 雖有色族及多聞  若無戒智猶禽獸
 雖處醜賤少聞見  能修戒智名勝士
“Meskipun seseorang itu rupawan, berbangsa tinggi, atau terpelajar,
jikalau ia tidak memiliki moralitas (śīla) dan kebijaksanaan (jñāna),
maka samalah ia seperti binatang.
Walaupun terlihat buruk, hina, atau kurang terpelajar,
namun bila seseorang sanggup mengembangkan śīla dan jñāna,
maka ia dinamakan seorang pemenang.
      —— Syair-Syair Esensi Dharma yang
      Disuratkan Bodhisattva Nāgārjuna
      untuk Raja Śātakarṇi
      《龍樹菩薩為禪陀迦王說法要偈》
      (T. vol. 32, № 1672 hlm. 746a)
 
 
 
Sebagai permisalan, kucing kesayangan yang kita pelihara mungkin tidak akan membunuh sepanjang kita memberinya makan dengan teratur setiap hari. Tetapi, suatu ketika, seandainya kita pergi dan lupa meninggalkan makanan untuknya, naluri berburunya bangkit kembali dan ia mulai membunuh hewan-hewan kecil untuk dimangsa. Jadi, sepanjang kita memberinya makan dengan teratur, dapatkah kita mengatakan bahwa kucing kita menjaga Śīla pantang membunuh?
Contoh lain adalah seorang pejabat publik dapat tidak melakukan korupsi di sebuah instansi yang sistem pengendaliannya berjalan baik. Namun, seandainya terdapat celah, ia segera mengambil kesempatan sebab sifat dasarnya sebenarnya memang tidak jujur. Hanya karena tiadanya celah yang memungkinkan, apakah bisa dengan serta-merta kita mencapnya sebagai seorang yang bermoral? Bolehkah kita mengatakan bahwa pejabat tersebut telah melaksanakan Śīla pantang mencuri?
Untuk dapat disebut sebagai Śīla — atau lebih teknisnya: disiplin (saṃvara) — menurut Vinayācārya Yüan-chao, paling tidak harus ada dua unsur yang terpenuhi (lihat jilid 3-4 Chi-yüan chi 《濟緣記》, Zokuzōkyō vol. 41, № 728 hlm. 252a):
 戒有二義:
 Sebab terdapat dua prinsip Śīla:
  一、有本期誓;
  1. Memiliki ikrar dan komitmen dasar;
  二,徧該生境。
  2. Memeluk ruang lingkup pembentuknya.
 
 
1. Jadi, pembeda utama antara berdisiplin dengan tidak adalah adanya ikrar dan komitmen. Pernyataan ikrar dan komitmen akan menimbulkan apa yang disebut “substansi disiplin” (yakni, saṃvara avijñapti). Apakah non-Buddhis juga mungkin memiliki saṃvara avijñapti? Menurut Bhadanta Harivarman: ya, hanya saja sifatnya non-Prātimokṣa. Dalam bab CXII Satyasiddhi Śāstra 《成實論 • 七善律儀品》 (T. vol. 32, № 1646 hlm. 303a) tertulis:
 問曰:諸外道等得此戒律儀耶?
 Tanya: Apakah non-Buddhis memperoleh śīla saṃvara?
 答曰:得。此人亦以深心,離諸惡故。戒師教言:「汝從今日不應起殺等罪。」
 Jawab: Memperoleh. Karena berkat [komitmen] yang mendalam, mereka juga meninggalkan berbagai kejahatan. Guru-guru pembimbing mereka (dalam cara yang hampir mirip dengan Buddhis) mengajari mereka: “Mulai hari ini janganlah engkau menimbulkan dosa pembunuhan dsb.”
Kucing peliharaan dan pejabat publik dalam contoh kita jelas tidak berada di bawah disiplin karena mereka memang tidak pernah berikrar/menyatakan komitmen untuk melaksanakan aturan tertentu.
 
 
2. Selanjutnya, karena tiada substansi disiplin dalam diri mereka, andaikata kucing dan pejabat publik di atas membunuh atau mencuri, mereka tidak dinyatakan melanggar disiplin — walau di mata dunia mereka mungkin akan dicap tidak bermoral. Akan tetapi, norma moralitas yang berlaku di dunia kadangkala berbeda antara masyarakat yang satu dengan yang lain. Misalnya: membunuh segala jenis hewan tidak apa-apa dalam kebanyakan masyarakat, namun membunuh manusia adalah berdosa. Komunitas lain menganggap hewan tertentu suci sehingga membunuhnya dipandang sebagai kejahatan besar. Maka suatu aturan harus memiliki kejelasan batasan untuk dapat dinamakan disiplin. Bagaimana seseorang dapat disebut melakukan pelanggaran jikalau batasan-batasan disiplinnya sendiri tidak jelas?
Tidak cukup seseorang hanya mengucapkan ikrar untuk dapat disebut mengambil disiplin. Ia juga harus memahami dan memeluk ruang lingkup pembentuk disiplin itu; jika tidak, substansi disiplin tidak terbentuk. Dengan kata lain, seseorang harus bersedia menerima segala batasan yang diatur disiplinnya itu. Sewaktu berkomitmen mengambil disiplin Buddhis tidak membunuh makhluk hidup mana pun, umpamanya, ia tidak boleh melakukan pengecualian untuk membunuh kecoak karena semata-mata kecoak merupakan hewan yang ia benci. Dengan membuat pengecualian, berarti ia belum bersungguh-hati hendak mengambil disiplin tersebut.
Seperti yang pernah dibahas sebelumnya (http://www.facebook.com/Ekottara.Agama.Indonesia/posts/715830728467426), ruang lingkup pembentuk disiplin Buddhis meliputi seluruh Dharmadhātu, baik objek hidup maupun objek tak-hidup, baik makhluk biasa (pṛthagjana) maupun para suci (ārya). Disiplin pantang membunuh dan pantang berzinah hanya berkaitan dengan objek hidup. Disiplin pantang meminum minuman keras hanya berkaitan dengan objek tak-hidup. Disiplin pantang mencuri dan pantang berdusta berkaitan dengan objek hidup dan tak-hidup.
Seorang Buddhis yang mengambil disiplin pantang membunuh bukan hanya tidak boleh membunuh manusia, tetapi juga hewan, dewa, asura, setan kelaparan, makhluk penghuni neraka, hingga mereka yang berada dalam antarabhāva. Pantangan ini mencakup ke sepuluh penjuru dan tiga masa. Para suci pun tercakup di dalamnya sebab janganlah nanti kita beranggapan bahwa tidak boleh membunuh mahluk biasa, tetapi tidak apa-apa membunuh seorang arhat atau bodhisattva.
Demikian pula seorang Buddhis yang mengambil disiplin pantang mencuri tidak boleh mencuri segala sesuatu di seluruh dunia. Tanah, sungai, gunung, pepohonan, bunga, buah, daun, bahkan hingga sehelai rumput, sebatang jarum, atau sebutir debu pun tidak boleh sembarangan diambil jikalau ada pemiliknya.
Unknown Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar