Jumat, 14 April 2017

PANDANGAN AGAMA BUDDHA TENTANG TRADISI / PUJA BAKTI DALAM AGAMA BUDDHA


PANDANGAN AGAMA BUDDHA TENTANG TRADISI / PUJA BAKTI DALAM AGAMA BUDDHA
Perlu dipahami dan dimengerti bahwa agama Buddha bukan semata-mata hanya mensampingkan tradisi akan tetapi dibalik tradisi itu kita bisa memaknai secara pemahaman Dhamma yang benar. Sebagian masyarakat menganggap agama Buddha anti tradisi, padahal tidak demikian. Adasuatu tradisi yang bisa kita ambil karena selaras dengan Dhamma (kebenaran) dan tradisi sesungguhnya tidak bisa dihapus ataupun dilenyapkan. Dengan demikian, pandangan agama Buddha mengenai tradisi sesungguhnya bisa memilah dan memilih, mana yang tradisi yang sesui dengan Dhamma ataupun mana tradisi yang tidak sesuai dengan Dhamma. Namun sang Buddha menganjurkan untuk mengambil atau mengabdosi tradisi yang sesuangan dengan Dhamma. Salah satu yang perlu diuraikan adalah Puja bakti. Cetya Tathagata akan memberikan artikel mengenai macam - macam Puja pada Agama Buddha pada artikel ini.
Puja Bakti adalah suatu tradisi umat Buddha, dengan kata lain puja bakti ini adalah suatu penghormatan. Dalam agama Buddha, penghormatan ada dua macam, yaitu:
1. Amisa Puja yaitu penghormatan dengan "materi / barang".
2. Patipati puja, yaitu puja dengan cara mempraktikkan Dhamma.
BAGIAN 1 - AMISA PUJA
Amisa Puja yaitu penghormatan dengan "materi / barang". Penghormatan dengan cara Amisa Puja merupakan suatu tindakan yang bersifat "nampak" dalam hal ini adalah:
A. Puja dalam bentuk Buddha Rupang. Penghormatan dalam hal ini adalah bagaimana kita meneladani sifat-sifat dari keluhuran sang Buddha. Ada 9 macam keluhuran dari seorang Sammasambuddha, yaitu:
1. Arahaṁ: murni sempurna dari kotoran, sehingga tidak berbekas, bahkan yang samar-samar sekalipun, yang dapat menunjukkan keberadaannya; Tidak memiliki kemampuan untuk melakukan kejahatan, bahkan pada saat tidak ada seorang pun yang mengetahui; Telah mematahkan jeruji lingkaran kelahiran; Layak dihormati oleh semua makhluk di tiga alam, manusia, dewa dan brahmà.
2. Sammàsambuddho, Telah mencapai Pencerahan Sempurna, dalam arti Beliau benar-benar memahami Dhamma oleh kecerdasan dan Pandangan Cerah dan mampu menjelaskannya kepada makhluk-makhluk lain.
3. Vijjàcaraõasampanno, Memiliki tiga pengetahuan, yaitu, Pengetahuan tentang kehidupan lampau semua makhluk, mata-dewa, dan padamnya semua noda moral, yang mana pengetahuan ini terdiri dari delapan pengetahuan beserta praktik moralitas yang sempurna yang dijelaskan dalam lima belas cara.
4. Sugato, Karena Buddha mencapai Nibbàna melalui Empat Magga ¥àõa, karena Buddha hanya mengatakan hal-hal yang benar dan bermanfaat.
5. Loka viddhu, Karena Beliau mengetahui kondisi-kondisi yang muncul dalam diri semua makhluk, penyebab kelahiran mereka dalam berbagai alam kehidupan, dan fenomena jasmani dan batin yang berkondisi.
6. Anuttaropurisadammasàrathi, Karena Beliau tidak ada bandingnya dalam hal menjinakkan mereka yang layak dijinakkan.
7. Satthàdevamanussànaṁ, Karena Beliau adalah guru para dewa dan manusia, yang menunjukkan Jalan menuju Nibbàna kepada para dewa dan manusia.
8. Buddha, Karena Beliau telah mencapai Pencerahan Sempurna, mengetahui dan mengajarkan Empat Kebenaran Mulia.
9. Bhagavà, Karena Beliau memiliki enam kualitas mulia, yaitu, keagungan (issariya), pengetahuan akan sembilan faktor spiritual, yaitu Magga-Phala Nibbàna (Dhamma), kemasyhuran dan pengikut (yasa), keagungan kesempurnaan fisik (sirã), kekuasaan dan prestasi (kàmma), dan ketekunan (payatta).
Sembilan sifat kebuddhaan ini harus dijalankan dengan penuh kasih sehingga akan bermanfaat demi kebahagiaan diri sendiri dan makhluk lain.
B. Puja dalam bentuk Bunga
Pengormatan dalam bentuk bunga akan mencermin kehidupan ini liputi oleh siklus perubahan (anicca). Dalam kehidupan sehari-hari secara langsung kehidupan kita bahkan tubuh jasmani ini akan mengalami suatu kondisi yang tidak kekal. Dari sejak kandungan, ketika lahir, masih bayi, remaja, dewasa hingga tua dan mengalami kematian. Dengan demikian siklus kehidupan akan trus berputar jikalau kita belum mencapai kesucian. Dengan mempraktikkan Jalan mulia berunsur delapan dengan penuh kesabaran, keuletan tanpa ada rasa malas maka kebebasan akan bisa dicapai. Maka sang Buddha menyatakan di dalam Dhammapada, Magga vagga, syair 273, Buddha menyakan “satu-satunya jalan untuk mencapai kebebasan adan dengan mempraaktikan jalan mulia berunsur delapan”.
C. Puja dalam bentuk lilin/pelita
Penghormatan dalam hal ini merupakan suatu gambaran akan menuju penerangan. Dalam hal ini, Buddha menunjukkan jalan untuk menuju pencerahan tatapi bagaimana dengan kita sekarang. Karena beliau hanya membuka dan menunjukkan saja akan tetapi kitalah yang harus berusaha dan bersemangat dalam mencapai suatu pencerahan.
D. Puja dalam bentuk buah-buahan
Sesuai dengan Buddha ajarankan bahwa hukum karma tetap berlaku dimana-mana dan kapanpun sehingga segala bentuk perbuatan yang dasari dengan niat, baik melalui pikiran, perkataan, dan tindakan tentu akan membuahkan hasil (vipaka). Jadi, kita jangan menganggap hal itu bersifat pesimis.
BAGIAN 2 - PATIPATI PUJA
Patipati puja, yaitu puja dengan cara mempraktikkan Dhamma. Dhamma sang Buddha sangat universal, tidak memandang ras, suku, agama, atau kebudayaan tatapi Dhamma bisa dipraktikkan oleh siapa saja. Jadi Buddha tidak menyaran kepada umatnya hanya Dhamma dijadikan sebagai teoretis belaka akan tetapi jadikanlah Dhamma itu sebagai pegangan hidup demi membebaskan diri dari samsara.
Pada dasarnya, teori dan praktek itu sama-sama pentingnya. Oleh karena itu, seseorang tidak seharusnya mengutamakan yang satu dengan mengesampingkan, mengabaikan atau bahkan mencampakkan yang lain. Dengan perkataan lain, teori atau praktek hendaknya tidak dinomorsatukan atau dinomorduakan, tetapi hendaknya sama-sama diberi perhatian yang seimbang. Teori dapatlah diibaratkan sebagai peta yang menunjukkan liku-liku serta seluk-beluk jalan yang harus ditempuh agar mencapai tempat tujuan dengan selamat; sedangkan praktek adalah upaya dalam menempuh jalan sebagaimana yang ditunjukkan dalam peta tersebut. Sebuah peta tidak mungkin dapat mengantar seseorang sampai ke tempat tujuan hanya dengan dipegangi, dilekati, dikagumi ataupun dipuja-puja. Akan tetapi, bersikap nekad dengan menempuh perjalanan ke suatu tempat yang masih asing [belum pernah didatangi] tanpa pedoman sebuah peta, mengandung risiko yang sangat berat –bukan hanya akan tersesat tapi bahkan bisa terjerumus ke dalam jurang hingga sukar untuk dapat kembali ke jalur yang benar. Parabhikkhu yang hanya berpegang pada praktek cenderung mengerti ajaran Sang Buddha berdasarkan pengalaman pribadi atau/dan pandangan subjektif. Kalau disanggah berdasarkan kebenaran yang sesungguhnya, mereka akan berkilah “Ah . . . , teorinya sih memang begitu, tapi prakteknya tidak demikian. Teori khan berbeda dengan praktek. Karena itu, praktek tidaklah dapat dan tidaklah boleh diperbandingkan atau dicocokkan dengan teori.” Kilahan demikian ini tentu sangatlah salah. Teori dirumuskan oleh Sang Buddha berdasarkan praktek, pengalaman, pencapaian, kebenaran dan kenyataan sesungguhnya. Karena itu, suatu teori pastilah selaras atau seiring dengan praktek. Jika suatu teori bertentangan dengan praktek, maka hanya ada dua kemungkinan dalam hal ini: kalau bukan teorinya yang salah –bukan sebagaimana yang diajarkan oleh Sang Buddha–, yah prakteknya yang salah. Sebaliknya, para bhikkhu yang hanya menekuni teori cenderung mengerti ajaran Sang Buddha berdasarkan penafsiran pribadi atau/dan ungkapan harfiah. Dengan begitu, mereka tentunya tidak dapat mengetahui kebenaran yang sesungguhnya.
Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa tidak ada pencapaian kesucian dan Pembebasan Sejati yang dapat diraih hanya dengan mengandalkan teori, tanpa praktek sebagai tindak-lanjutan. Sebaliknya, amatlah sia-sia jika menjalankan praktek yang dianggap sudah benar tetapi ternyata bukan suatu cara praktek sebagaimana yang telah dirumuskan oleh Sang Buddha sebagai teori. Untuk dapat benar-benar memperoleh hasil yang nyata dan pesat, seseorang haruslah bersikap arif dalam memadukan teori dan praktek.
Sebagai kesimpulan bahwa agama Buddha melihat suatu tradisi itu salah dan tidak bermanfaat akan tetapi ada suatu tradisi yang baik dan menunjang dalam pengembangan spiritual pribadi masing-masing seperti yang telah diuraikan. Jadi tradisi puja bakti merupakan salah satu tradis yang baik dari berbagai macam tradisi yang lainnya. Jika ini dilakukan dengan sungguh maka akan membawa manfaat dan kesejahteraan diri sendiri maupun makhluk lain. Disarankan kepada pembaca hendaknya tradisi yang baik perlu dilestarikan dan praktikkan sehingga kebahagiaan akan tercapai.
Referensi:
- Tipitakadhara Mingun Sayadaw. 2008. Riwayat Agung Para Buddha. Tanggerang: Ehipassiko Foundation & Giri Maṁgala Publications
- Pandita sasanadhaja, surya widya. 2005. Dhammapada. Jakarta: Yayasan Dhammadipa, Ārāma
- Jan Sanjivaputta. 1990. Mangala: Berkah Utama (Jilid Pertama. Tanpa kota: Lembaga Pelestari Dhamma
Unknown Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar